Rencana pemerintah yang akan menerapkan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium untuk sejumlah kendaraan pribadi, mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dinilai tidak cerdas. Khususnya dalam menetapkan langkah kebijakan untuk menjaga besaran subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) yang sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012 sebesar 40 juta kiloliter (kl).
Kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang diusung pemerintah pada hakikatnya sama saja dengan menaikkan harga hingga 100 persen. Kebijakan itu sama saja dengan memaksa kendaraan pribadi untuk membeli BBM sesuai harga keekonomian atau nonsubsidi, seperti pertamax dan pertamax plus.
Rangkuman pendapat itu disampaikan pengamat migas Kurtubi dan ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Revrisond Baswir secara terpisah di Jakarta, Kamis (12/4).
Kurtubi mengatakan, seharusnya pemerintah berfokus pada program pengalihan penggunaan BBM ke bahan bakar gas (BBG) yang selama ini dicanangkan. Apalagi upaya untuk merealisasikan konversi energi pada kendaraan bermotor masih memiliki banyak kelemahan dan kekurangan serta membutuhkan persiapan infrastruktur.
“Rencana membatasi konsumsi maupun kenaikan harga BBM sebenarnya sudah ditolak oleh DPR, tapi pemerintah kembali mewacanakan. Ini menunjukkan Kementerian ESDM tidak cerdas. Padahal sudah diamanatkan untuk melakukan upaya penghematan melalui konversi dari BBM ke BBG. Seharusnya fokus ini dijalankan,” katanya.
Menurut dia, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi cukup merepotkan. Hal ini mengingat kebocoran distribusi BBM bersubsidi, seperti penyelundupan dan penyimpangan peruntukan, hingga kini belum berhasil dituntaskan.
“Jadi, langkah pembatasan konsumsi BBM sebaiknya diterapkan sebagai kebijakan akhir. Atau, setelah langkah lain seperti konversi ke BBG tidak bisa dijalankan. Saat ini masih banyak pilihan yang lebih realistis,” ujarnya.
Kurtubi yang menjadi Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) menambahkan, alasan terlewatinya kuota BBM bersubsidi hingga timbul pembengkakan nilai susbidi dalam APBN sebenarnya bukan suatu masalah luar biasa. Dalam hal ini pemerintah seharusnya bisa menggenjot penerimaan dari sektor migas yang kini baru mencapai sekitar Rp 270 triliun.
“Pemerintah jangan terlalu mengumbar kepanikan dan meneror masyarakat dengan alasan APBN jebol. Pembatasan konsumsi BBM tidak diperlukan, belum lagi dampaknya terhadap inflasi yang signifikan. Tapi, bagaimana penerimaan dari sektor migas dan penerimaan dari sektor lainnya ditingkatkan,” tutur Kurtubi.
Sementara itu, Revrisond Baswir mengatakan, alasan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM untuk menjaga keseimbangan APBN tak dapat diterima. Apalagi hitungan yang menjadi pegangan pemerintah masih berdasarkan asumsi atau belum ada kepastian.
Dia menduga, alasan pemerintah untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi maupun penghapusan subsidi guna mengakomodasi kepentingan asing. Faktanya, saat ini sederetan perusahaan asing sudah mendaftarkan diri dan siap membuka stasiun pengisian bahan umum (SPBU) secara besar-besaran untuk bersaing dengan Pertamina.
“Masuknya pihak asing sudah diskenariokan sejak lama dan sebagian SPBU-nya sudah beroperasi. Para pemain hilir migas ini terus menunggu pemerintah untuk benar-benar mencabut subsidi pada BBM. Bahkan, perusahaan asing seperti Petronas dipercaya mendampingi Pertamina untuk menyalurkan BBM bersubsidi. Artinya, ada skenario besar yang dijalankan pemerintah untuk mencabut subsidi pada BBM,” ucapnya.
Dia juga menggarisbawahi dominasi kepentingan asing dalam pengelolaan energi di dalam negeri sudah terstruktur secara sistematis. Untuk itu, hanya kekuatan masyarakat yang bisa mempertahankan keberadaan BBM bersubsidi dan sumber energi lainnya agar tetap dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
“Jika kekuatan itu melemah, pemerintah akan dengan cepat mengubah kebijakan yang ada untuk segera menaikkan harga premium. Bahkan, secara bertahap produksinya akan dihentikan agar menggantungkan diri pada kekuatan asing dengan impor energi,” tutur Revrisond.
Sebelumnya, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan, pemerintah akan menerbitkan aturan terkait pembatasan pemakaian BBM bersubsidi pada Mei 2012. “Saat ini sedang disiapkan SK-nya, yang rencananya awal Mei,” ucapnya.
Program pembatasan yang dikaji di antaranya pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan roda empat berkapasitas mesin besar (cc) tertentu. Hal ini ditujukan untuk melakukan penghematan terhadap BBM bersubsidi, mengingat kemungkinan terjadinya pembengkakakn anggaran apabila konsumsi BBM bersubsidi tidak dikendalikan.
(asf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar